Penulis: Muhammad Ikra
Staf Bidang Sosial dan Politik Himpunan Mahasiswa Teknologi Pendidikan (HIMATEP) Universitas Negeri Makassar
Opini - Saya memandang kampus sebagai satu-satunya pusat pendidikan kini. Dari sana, masyarakat akademis dibina, digembleng hingga menjadi intelektual. Proses pembangunan manusia akademis mengedepankan kebebasan untuk membuka tabir-tabir ketabuhan yang menghinggapi mayoritas masyarakat tradisional. Dari sini jugalah tempat lahirnya ide kreatif dan gagasan visioner, begitu bukan?
Seharusnya begitu, namun kampus kini begitu sibuk mengurusi perkara remeh temeh, termasuk larangan rambut gondrong bagi mahasiswa. Keluh kesah semacam ini bukanlah perkara baru. Perdebatan boleh tidaknya gondrong di kampus sudah terjadi sejak kampus mulai eksis di negeri kita. Pertanyaan saya pun masih sama dengan pertanyaan orang dahulu yang pernah merasakan hal serupa. Apakah panjang pendeknya rambut adalah cerminan kualitas ilmu dan moral mahasiswa?
Rambut gondrong, bagi saya, bukan ajang gaya-gayaan, melainkan ekspresi diri yang saya pilih. Pada awal tahun 1970-an, pemerintah Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, rambut gondrong dikonotasikan sebagai perlawanan, pengaruh budaya barat, terutama gerakan hippie. Soeharto dan kroni-kroninya di kampus mulai mengampanyekan mahasiswa berambut gondrong sebagai gaya hidup yang tak sesuai dengan nilai-nilai ketimuran. Lebih dari itu, rambut gondrong diasosiasikan dengan pemberontakan, kebebasan berlebih, atau gaya hidup yang tidak disiplin.
Dalam rangka mewujudkan cita pembangunan nasional, pemerintah Orde Baru berupaya menanamkan budaya disiplin dan keseragaman, termasuk berambut pendek. Minimal tak melewati daun telinga. Bahkan berbagai pemberitaan waktu itu cenderung menginformasikan mahasiswa berambut gondrong kerap berbuat onar. Akibatnya, stigma buruk menjangkiti pikiran masyarakat.
Bahkan, kala itu, aparat penegak hukum sangat aktif menegakkan aturan larangan gondrong. Banyak operasi penangkapan atau pencukuran rambut paksa dilakukan di ruang publik, seperti sekolah, jalan, atau tempat kerja bahkan sampai mengarahkan penembak misterius (petrus) untuk menembak orang-orang yang berambut gondrong.
Padahal, bagi sebagian mahasiswa, rambut gondrong bukanlah wujud pemberontakan, melainkan pilihan penguatan Identitas diri. Karenanya, larangan rambut gondrong adalah bentuk pembatasan terhadap kebebasan berekspresi yang seharusnya dijunjung tinggi di lingkungan kampus.
Lagipula, tak ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa mahasiswa gondrong kurang disiplin, kurang sopan, atau kurang kompeten dibandingkan mereka yang berambut pendek.
Larangan semacam ini juga mencerminkan bias terhadap standar penampilan tertentu yang cenderung kaku. Jika kampus adalah tempat untuk mendidik mahasiswa menjadi individu yang kritis dan terbuka, bukankah seharusnya aturan-aturan yang membatasi ekspresi personal juga ikut ditinjau?
Perspektif Kebebasan dan Hak Asasi
Kebebasan berekspresi adalah hak fundamental yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28E Ayat 2, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak menyatakan pendapat dan ekspresi dirinya. Aturan yang melarang rambut gondrong dapat dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap hak individu untuk mengekspresikan dirinya.
Aturan semacam ini juga berpotensi membatasi kreativitas mahasiswa. Sebagai ruang pendidikan yang idealnya inklusif, seharusnya menghormati keragaman gaya hidup dan pilihan personal mahasiswa selama tidak melanggar nilai-nilai akademik dan etika.
Larangan terhadap mahasiswa agar tak berambut gondrong bukanlah persoalan sepele. Kita mesti memahami kebebasan dalam dunia pendidikan, apalagi kampus. Karena itu, para pelakon yang melarang rambut panjang bagi laki-laki perlu meninjau ulang aturan semacam ini dan memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan tidak menghambat mahasiswa dalam mengekspresikan dirinya.
Sebaliknya, pendidikan harus menjadi sarana untuk mendorong keberagaman dan pemikiran kritis. Rambut gondrong atau pendek tidak akan mempengaruhi kemampuan mahasiswa untuk berkontribusi dalam masyarakat. Yang lebih penting adalah bagaimana mereka berpikir, belajar, dan bertindak sebagai individu yang bertanggung jawab.
Kampus sebagai ruang intelektual harus mampu melampaui penilaian dangkal terhadap penampilan fisik dan lebih fokus pada nilai-nilai akademik dan kreativitas mahasiswa. Rambut gondrong bukanlah ancaman, melainkan cerminan keberagaman yang seharusnya dirangkul, bukan dilarang, bukankah demikian?