Oleh Akbar, Korban Pungli Polisi*
Opini - Pagi buta sebelum ke sawah, saya mendadak mengingat profesi yang membawa trauma psikis. Bukan Cuma kepada saya, tetapi kalian semua. Namanya polisi. Seragam coklat yang banyak memberikan ingatan dan pengalaman buruk.
Mengingat Polisi, lebih buruk dari mengingat mantan yang pergi tanpa pamit. Jika mantan kamu masuk kategori mokondo, maka mirip kelakuan polisi. Cinta tak jadi, duit ikut habis. Polisi mengaku melayani, tetapi dengan syarat pelicin, harus ada duit.
Pernah suatu waktu, aktivitas peredaran narkoba merajalela di kampung. Resah dengan kondisi ini, seorang teman mengadu ke polisi, berharap menangkapi pengedar dkk. Kendatipun para pelaku tertangkap, namun belum tiba di rutan, pelaku sudah dibebaskan. Rasanya sulit percaya cerita ini, namun pengalaman meyakinkan kita, persengkongkolan polisi dan narkoba seperti nyata adanya.
Seorang teman menceritakan ke saya soal praktik ‘tangkap lepas’ polisi. Pihak keluarga dimintai sejumlah uang jika anak mereka ingin bebas. Bahkan, praktik tebus menebus seperti ini bukan lagi rahasia umum. Masyarakat yang bersikap bebal bahkan menganggap praktik tersebut lumrah.
Praktik tangkap lepas bisa terjadi pada kasus kejahatan lainnya, bukan cuma perkara narkoba. Fenomena ini, memang melibatkan orang tua pelaku sebagai pihak penyogok, lalu polisi turut menormalisasi praktik yang seharusnya mereka cegah dan hentikan. Jadilah praktik tangkap lepas ini bisnis gelap kepolisian. Penjahat lepas, duit datang.
Menjadi polisi memang bukan hal mudah. Polisi tanggung jawabnya besar. Mereka harus melindungi warga dari marabahaya. Sepatutnya memerangi kejahatan. Tetapi kenyataan berkata lain.
Awalnya saya menganggap praktik tangkap lepas ini kasus langka. Mungkin hanya terjadi pada kondisi tertentu saja. Waktu terus berputar, saya kembali mendengarkan kejadian serupa di banyak tempat. Bahkan bukan hanya praktik tangkap lepas, polisi menjadi pengguna, pengedar dan penjaga gerbong narkoba.
Mungkin pernah terlintas kepala kita, kenapa narkoba tak pernah benar-benar lenyap. Yang membuat geleng-geleng kepala, di tempat yang terjaga seperti penjara sekalipun, narkoba tetap eksis.
Kalau di atas cerita teman, maka ini pengalaman pribadi penulis. Saya pernah mengurus surat keterangan barang hilang di Polsek Makassar. Waktu itu, dompet yang berisi atm dan duit seadanya, jatuh saat perjalanan pulang kerja.
Saya tunggang langgang ke kantor polisi. Sekitar 10 menit berlalu, surat keterangan hilang beres. Polwan yang mengerjakan suket saya mengarahkan agar menyisihkan uang seikhlasnya dalam sebuah kotak. Yang saya ingat, kotak itu sudah terisi berbagai warna uang, ada biru, hijau, dan merah. Karena yang tersisa di saku celana pecahan 5 ribu, dengan berat hati saya turut menyumbang.
Difikri-fikri, eh dipikir-pikir, sepertinya praktik sumbangan pengurusan suket di kepolisian tak lazim. Ini seperti praktik pungli yang dibungkus embel sedekah. Kemudian dibumbui kata seikhlasnya.
Didorong rasa curiga, saya menghubungi om google. Cek per cek, pengurusan surat keterangan hilang tidak dikenakan biaya atau gratis. Om google bilang, saya baru saja menjadi korban pungli polisi zalim.
Cukup banyak pengalaman buruk saya dengan pak polisi. Menuliskan semuanya bukan ide baik. Seorang motivator bilang, manusia jangan keseringan mengingat pengalaman buruk. Namun mengingat pengalaman baik dengan polisi juga tidak ada. Saya pernah ditilang dan kena pungli lagi. Saya pernah melapor kasus pencurian, namun polisi lebih semangat menggerebek wisma dan hotel-hotel, lalu menangkap PSK.
Sejatinya, menjadi polisi itu baik dan potensi berbuat kebaikan sangat besar. Namun potensi berbuat kejahatan juga tak kalah besar. Lalu kenapa polisi kita bengis-bengis? Begini ringkasnya.
Kita semua pasti tahu soal satu fakta ini. Mau masuk dan jadi polisi bayar bos. Keluarga menjual segalanya untuk profesi polisi. Surat berharga, tanah, petak sawah, semua melayang demi jadi polisi. Mereka yang tak bernasib mujur, akan jadi korban penipuan calo polisi. Sementara yang jadi polisi karena sogok melahirkan aparat tanpa integritas dan bermata uang.
Pembaca sekalian, saya yakin diantara kita ada yang pernah mengalami hal berikut . Urus SIM bayar, urus surat keterangan hilang bayar, ditilang bayar, ditangkap polisi bayar, suruh tangkap pelaku pencuri bayar. Begitu pula masuk polisi, bayaaaaaar.
Gawatnya, uang dapat mempengaruhi kinerja polisi. Aparat bisa jadi alat pemukul dan pelindung bagi orang kaya. Itulah kenapa setiap konflik sosial misalnya, yang melibatkan perusahaan, instansi, dan orang beruang, selalu dikawal polisi. Mereka yang berduit menyatu dengan polisi yang gila uang. Jadi sebetulnya, slogan polisi sebagai pengayom sudah benar. Tetapi mengayomi yang berduit bukan rakyat kecil.
Lalu kapan polisi berguna untuk rakyat seperti kita-kita ini? Hanya satu jawabannya. Ketika kita punya keluarga polisi wkwkwk.
Selamat berakhir pekan.
Tulis Komentar