Foto: Penulis
Oleh Nurfadila MY*
Opini - Peristiwa di yang terjadi SMAN 1 Cimarga, ketika seorang kepala sekolah menampar siswanya yang merokok, seolah menjadi alarm bagi dunia pendidikan kita. Hal ini menyita perhatian publik. Riuh pro dan kontra netizen di media sosial menyoroti siapa yang salah: guru atau murid. Namun di balik hiruk-pikuk itu, tersimpan pelajaran yang jauh lebih penting: retaknya jembatan kolaborasi antara rumah dan sekolah.
Pendidikan sejatinya adalah kerja bersama tiga unsur yaitu guru, orang tua, dan siswa. Jika salah satunya retak, seluruh taman pendidikan kehilangan keseimbangannya. Kita sering lupa, menjadi orang tua bukan dimulai saat anak lahir, melainkan jauh sebelumnya, ketika seseorang membentuk karakter, kebiasaan, dan nilai hidupnya sendiri. Nilai-nilai yang tumbuh dalam diri orang tua itulah yang kelak diwariskan secara tak sadar pada anak-anak mereka. Tak heran, Imam Al Ghazali bertutur, “Didiklah anakmu 25 tahun sebelum ia dilahirkan”. Didiklah diri kita untuk menjadi pribadi yang terdidik yang cerdas secara spiritual, emosional, dan intelektual jauh sebelum anak itu dilahirkan. Yah...mendidik gurunya dahulu, orang tuanya sebagai madrasah pertamanya.
Anak belajar bukan dari kata-kata, melainkan dari teladan hidup. Saat di rumah ia melihat ayah menahan marah, ibu menepati janji, dan keduanya saling menghormati, maka anak belajar disiplin dan kasih tanpa perlu ceramah panjang. Namun bila yang ia saksikan justru pertengkaran, ketidakkonsistenan, atau ketidakpedulian, maka kebingungan nilai itu akan terbawa ke sekolah. Di sinilah sering kali muncul gesekan antara dunia rumah dan dunia belajar. Kasus Cimarga bukan sekadar soal pelanggaran siswa atau tindakan emosional kepala sekolah. Ia menyingkap kesenjangan komunikasi antara guru dan orang tua. Banyak keluarga menyerahkan sepenuhnya urusan pembentukan karakter kepada sekolah, seolah pendidikan moral adalah tanggung jawab guru semata. Sebaliknya, sebagian guru merasa beban moral terlalu berat untuk dipikul sendirian. Akibatnya, pendidikan kehilangan bentuk kolaboratifnya dan berubah menjadi arena saling menyalahkan setiap kali muncul masalah.
Padahal, Ki Hajar Dewantara sudah lama mengingatkan tentang tripusat pendidikan: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sekolah tak bisa menggantikan peran rumah, dan rumah tak akan berdiri kokoh tanpa nilai sosial yang sehat. Setiap peristiwa seperti Cimarga seharusnya mendorong kita memperkuat komunikasi dua arah. Guru bukan musuh orang tua; mereka adalah rekan sevisi dalam membentuk manusia merdeka. Sekolah perlu membuka ruang dialog hingga percakapan personal antara wali kelas dan keluarga. Sementara itu, orang tua perlu hadir tidak hanya ketika konflik terjadi, melainkan ketika nilai sedang ditanamkan.
Krisis moral anak bukan lahir dari kurangnya peraturan yang diterapkan, tetapi dari hilangnya teladan. Anak-anak meniru apa yang mereka lihat, bukan apa yang mereka dengar. Bila di rumah mereka mendengar orang tua mencela guru, mereka belajar bahwa otoritas bisa diremehkan. Bila di sekolah mereka melihat kekerasan, mereka belajar bahwa kekuatan lebih penting daripada kasih. Maka, tugas terbesar orang tua adalah menjaga konsistensi nilai antara rumah dan sekolah agar keduanya menjadi cermin kebaikan yang jernih.
Era digital membuat tantangan ini semakin kompleks. Seperti ditulis Budi Hardiman dalam Aku Klik Maka Aku Ada, manusia kini bertransformasi dari homo sapiens menjadi homo digitalis menjadi makhluk yang lebih sering berinteraksi dengan layar ketimbang sesama. Anak-anak belajar lebih banyak dari algoritma media sosial daripada dari orang tua. Maka, tanggung jawab keluarga hari ini bukan hanya memberi nafkah, tetapi juga mengawasi makna: memahami isi pikiran anak yang dibentuk oleh notifikasi, komentar, dan konten yang setiap hari mereka lihat.
Orang tua perlu belajar kembali tentang komunikasi empatik, bijak dalam menghadapi masalah, cakap digital, dan cara menanamkan nilai melalui percakapan sederhana di meja makan. Sebab pendidikan sejatinya tidak berhenti di ruang kelas, melainkan tumbuh dalam keseharian. Akhirnya, mari kita bercermin: sudahkah kita menjadi orang tua yang menyejukkan, guru yang digugu dan ditiru, dan siswa yang beretika? Pendidikan bukan tentang siapa yang paling benar, tetapi siapa yang paling mau belajar memperbaiki diri. Guru, orang tua, dan anak semuanya sedang belajar.
Jika Cimarga menjadi cermin, yang terpantul bukan hanya wajah guru dan siswa, tetapi bayangan kita semua sebagai bangsa yang sedang kehilangan keseimbangan antara kasih dan disiplin. Guru adalah tanah, siswa adalah bunga, dan orang tua adalah air. Sebaik apa pun tanahnya, bunga tak akan tumbuh tanpa air yang menghidupi. Begitu pula sekolah: sebaik apa pun sistemnya, tak akan berhasil tanpa kehadiran orang tua yang mengalirkan nilai, teladan, dan cinta dari rumah.
Tulis Komentar