Makassar - Sejak eksis di Sulawesi Selatan (Sulsel), Eco Bhinneka Muhammadiyah terus memasifkan perbincangan isu krisis iklim. Tak sekadar mengikuti tren diskusi lingkungan pada umumnya, melainkan dampak krisis iklim kini menjadi ancaman serius bagi alam dan manusia, termasuk di Sulsel.
Teranyar, kelompok muda Muhammadiyah itu menggandeng Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulsel, bersama sejumlah perwakilan organisasi kepemudaan menggelar Seminar Keadilan Iklim di Aula JL Star Hotel, Makassar, Sabtu, 31 Mei 2025. Dalam paparannya, Focal Point Eco Bhinneka Muhammadiyah Sulsel, Elbu Bahtiar menyebut komunitasnya itu digagas oleh PP Muhammadiyah.
“Eco Bhinneka Muhammadiyah lahir karena kesadaran bahwa krisis iklim bukan masalah satu pihak, tapi masalah bersama. Artinya, solusi untuk masalah ini juga harus dirembukkan bersama,” kata Elbu.
Setelah melakukan sejumlah pendataan, termasuk di Gowa beberapa waktu lalu, Elbu optimis bahwa Eco Bhinneka akan terus bergerak secara terstruktur dan sistematis.
Kepala Divisi Perlindungan Ekosistem Esensial WALHI Sulsel, Zulfaningsih menjelaskan sejumlah faktor pendorong terjadinya krisis iklim di Indonesia. Tapi, khusus di Sulsel, ekspansi industri nikel menjadi penyebab utama.
“Salah satu penyebab utama krisis ekologis di Sulsel adalah ekspansi besar-besaran industri nikel. Tumbuh pesat ditengah narasi energi global yang menjanjikan peralihan menuju energi bersih dan ramah lingkungan,” papar dia.
Berdasarkan data yang dihimpun, kata dia, Indonesia adalah satu dari sekian negara dengan kekayaan SDA nikel yang melimpah. Tak heran, Indonesia menjadi negara produsen paling banyak menghidupkan industri luar negeri yang memanfaatkan nikel sebagai bahan baku pembuatan baterai, salah satunya kendaraan listrik.
Meski begitu, Zulfaningsih menyebut kendaraan listrik bukan sebagai transisi energi terbarukan yang tepat. Selain karena proses pembuatannya tetap menggunakan energi kotor, ekspansi industri nikel juga kerap merampas ruang hidup masyarakat yang berada di kawasan pertambangan.
“Indonesia juga mengambil peran sebagai produsen utama nikel dunia, karena nikel merupakan bahan baku penting dalam pembuatan baterai kendaraan listrik. Kita mempertanyakan kendaraan listrik yang disebut sebagai transisi energi, solusi atau justru menciptakan bentuk baru perebutan ruang hidup masyarakat,” jelas dia.
Ia sendiri sangat menyayangkan kebijakan pemerintah yang menjadikan Sulsel sebagai wilayah strategis nasional penyedia nikel. Sebab, status itu melegitimasi korporasi untuk menguasai lahan secara masif.
“Contohnya, di Kabupaten Luwu Timur, PT Vale Indonesia menguasai konsesi tambang seluas kurang lebih 70.000 hektare. Perusahaan ini mendapatkan hak eksploitasi dalam jangka panjang di bawah kerangka hukum negara. Inilah bentuk ketimpangan struktural yang tidak boleh kita abaikan, karena berdampak langsung terhadap krisis iklim, kehilangan ekosistem, dan marginalisasi masyarakat lokal,” terang Zulfaningsih.
Akademisi: Mengatasi Krisis Iklim Harus Dengan Memperbaiki Pola Pikir
Akademisi Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar yang juga sebagai pengamat Perencanaan Wilayah dan Kota, Soemitro Emin Praja menyebut krisis iklim sebagai isu global yang telah lama menghantui manusia. Untuk menyelesaikan itu, kata dia, harus diawali dengan memperbaiki pola pikir tentang alam, khususnya Indonesia yang memiliki SDA melimpah.
“Hampir seluruh negara kini berupaya mencari solusi konkret, namun tantangan terbesar justru terletak pada kurangnya kesadaran kolektif untuk mengubah cara pandang kita terhadap alam,” tutur Emin.
Menurut dia, mereka yang kerap mengeksploitasi alam secara berlebihan memiliki cara pandang yang tidak tepat. “Ketika manusia merasa lebih tinggi derajatnya dari lingkungan, lahirlah tindakan-tindakan eksploitatif yang merusak keseimbangan ekosistem, padahal hakikatnya, manusia dan alam itu setara, sama-sama ciptaan tuhan,” jelas dia.
Meski begitu, Emin tak memungkiri bahwa diskusi itu hanya penting membicarakan hal-hal yang bisa dijangkau oleh Eco Bhinneka. Contohnya, kata dia, kebijakan teknis seperti Ruang Terbuka Hijau (RTH) harus dikawal agar sesuai dengan regulasi yang ada.
“Dalam konteks perencanaan wilayah dan kota, krisis iklim sudah menjadi pertimbangan penting dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Salah satu strategi mitigasi yang terus didorong adalah penyediaan RTH minimal 30% dari luas kawasan, dengan komposisi 20% untuk RTH publik dan 10% untuk RTH privat. Kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat daya lenting kawasan, khususnya di daerah rawan bencana,” papar Emin.
Infrastruktur, Bencana dan Difabel
Di tempat yang sama, Perwakilan Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan, Ridwan Mappa menyebut Sulsel sebagai wilayah dengan kesiapsiagaan daerah rawan bencana terhadap kelompok rentan dan disabilitas yang sangat minim.
“Banyak bukti menunjukkan bahwa perencanaan wilayah dan kota kita saat ini belum ramah terhadap kelompok disabilitas, terutama di daerah rawan bencana. Hal ini bisa dikategorikan sebagai bentuk diskriminasi yang sistemik. Contoh sederhana bisa dilihat dari trotoar banyak yang tidak dapat diakses dengan aman oleh penyandang disabilitas karena adanya tiang listrik di tengah jalan, lubang-lubang, hingga rambu atau fasilitas umum yang tidak terstandarisasi. Ini menunjukkan bahwa desain kota kita belum inklusif,” tegas dia.
Karena itu, ia berpesan agar pemangku kebijakan, ketika hendak membangun infrastruktur, mesti melibatkan sejumlah pihak untuk dimintai pendapat, termasuk para pemerhati kelompok rentan dan disabilitas.
“Saat ini, sering dilakukan pembangunan trotoar atau fasilitas umum yang baru diuji coba setelah selesai, dan saat ditemukan ketidaksesuaian, penyandang disabilitas tidak bisa berbuat banyak karena tidak dilibatkan dalam proses perencanaan,” kata dia.
Tak hanya di kota, kata dia, infrastruktur desa jauh lebih buruk. Padahal, kata Ridwan, bencana alam akibat krisis iklim kerap menimpa wilayah desa lebih dulu sebelum wilayah perkotaan.
“Di daerah pedesaan atau kampung-kampung, fasilitas kebencanaan jauh lebih tidak memadai. Padahal, dalam situasi bencana atau darurat, kelompok disabilitas sangat membutuhkan aksesibilitas dan informasi yang inklusif. Prinsipnya sederhana, ketika fasilitas sudah ramah bagi difabel, maka otomatis fasilitas tersebut juga ramah bagi semua termasuk lansia dan anak-anak,” jelas dia.
Karena itu, ia sangat mengapresiasi Eco Bhinneka yang telah membuka ruang untuk membincangkan isu krisis iklim. Selain sebagai gerakan penyadaran, pertemuan itu juga menjadi jajak pendapat, agar nantinya keluhan-keluhan yang ada bisa disampaikan kepada pemangku kebijakan.
“Oleh karena itu, penting untuk terus mengkampanyekan kesadaran ini, termasuk melalui media sosial. Kita harus memastikan bahwa keberadaan fasilitas yang mendukung kelompok disabilitas bukanlah pilihan, tetapi keharusan. Ini adalah bentuk kesiapsiagaan yang sesungguhnya, agar kita semua terutama yang rentan dapat hidup lebih tenang ketika menghadapi bencana atau situasi krisis iklim,” tandas Ridwan.
Tulis Komentar