maritimnewsdotco@gmail.com
Banner Iklan Maritim News

Antara Keadilan dan Kepastian Hukum Penerapan KUHP Baru

$rows[judul] Foto: Penulis

Oleh Andi Muh. Asdar, S.H. (Praktisi Hukum)*

Opini - Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) akan mulai berlaku efektif pada 2 Januari 2026. Dengan demikian, KUHP lama (Wetboek van Strafrecht tahun 1946) secara otomatis akan digantikan keberlakuannya, sesuai dengan asas lex posterior derogat legi priori, yang berarti hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama.

Sebagaimana diketahui, KUHP lama yang selama ini digunakan merupakan warisan kolonial Belanda. KUHP tersebut diberlakukan sejak 1 Januari 1918 berdasarkan Staatsblad Tahun 1915 Nomor 732, yang pada dasarnya merupakan hasil unifikasi hukum pidana untuk golongan Eropa dan Bumi Putera di Hindia Belanda, jauh sebelum Indonesia merdeka.

Selanjutnya setelah kemerdekaan mulai berlaku pada tanggal 20 September 1958 melalui UU No. 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik.

Mengingat usia dan latar sejarahnya yang panjang, sudah sepatutnya Indonesia memiliki KUHP Nasional yang disusun berdasarkan nilai-nilai dan kebutuhan masyarakatnya sendiri. KUHP lama kini dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman.

Salah satu contoh yang dapat kita lihat adalah menyangkut sanksi pidana yang di dominasi dengan pembatasan kebebasan bergerak yang kita kenal sebagai pemenjaraan karena mengadopsi keyakinan bahwa penjara sebagai solusi penghukuman paling mujarab. Konstruksi seperti ini berdampak terhadap populasi penjara yang terus meningkat setiap bulannya.

Ironisnya berdasarkan database pemasyarakatan menggambarkan bahwa yang banyak menjadi penghuni penjara adalah mereka yang ekonominya lemah. Kondisi ini menunjukkan kegagalan asas utilitas dalam KUHP lama, sehingga pembaruan hukum menjadi keniscayaan.

Tindak pidana seperti pencurian dan perjudian misalnya, adalah tindak pidana yang umumnya dilakukan oleh masyarakat akibat desakan ekonomi. Tidak berlebihan jika kita mengatakan negara haruslah turut bertanggung jawab atas kondisi sosial yang mendorong warga melakukan perbuatan pidana. Sebab hal ini menunjukkan bahwa negara belum sepenuhnya berhasil menjamin perlindungan dan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Namun alih-alih negara melahirkan kesejahteraan, negara justru membebani mereka dengan sanksi pidana yang dalam banyak kasus tidak menyentuh akar persoalan.

Berangkat dari uraian tersebut, maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang efektif berlaku tanggal 02 Januari 2026 merupakan kebutuhan yang mendesak dalam rangka menyelaraskan peraturan dengan rasa keadilan masyarakat. Perbedaan fundamental KUHP lama dan KUHP baru terletak pada filosofi pemidanaannya, dimana KUHP lama lebih represif dan berfokus pada pembalasan, sementara KUHP baru mengedepankan pendekatan Restoratif dan Rehabilitatif serta perlindungan HAM. Selain itu ada juga perluasan asas legalitas dengan mengakui hukum adat (Living law) dalam KUHP, pembaruan jenis pidana, serta fleksibilitas bagi hakim dalam menjatuhkan hukuman.

Namun muncul satu pertanyaan praktis yang sering di ajukan: Bagaimana jika satu tindak pidana terjadi Ketika KUHP lama masih berlaku, tetapi proses hukumnya berlangsung setelah KUHP baru mulai di berlakukan? KUHP manakah yang di gunakan?

Disinilah kontradiksi itu bisa dilihat, adanya pertentangan asas Lex Temporis delicti, yaitu prinsip hukum yang menegaskan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum pada saat tindak pidana dilakukan, atau istilah yang paling umum kita sebut hukum tidak berlaku surut (non-retroaktif). Asas ini mencerminkan kepastian hukum dan hak asasi manusia, bahwa seseorang tidak dapat di pidana atas dasar aturan yang belum ada pada saat perbuatannya dilakukan.

Namun disisi lain terdapat asas lex favor reo atau dikenal juga sebagai hukum transitoir ataupun lex mitior, yang justru memungkinkan untuk mengecualikan prinsip non-retroaktif, artinya asas ini membolehkan diberlakukannya hukum secara surut apabila ketentuan dalam hukum baru lebih ringan atau lebih menguntungkan bagi pelaku, pengaturan asas lex favor reo dapat di lihat di dalam pasal 3 UU 1/2023 KUHP baru.

Lantas apakah hakim wajib menerapkan KUHP lama sesuai asas lex temporis delicti, ataukan boleh menggunakan KUHP baru jika lebih menguntungkan bagi terdakwa sesuai asas Lex Favor reo atau transitoir?

Sebagai ilustrasi, misalnya seseorang melakukan tindak pidana pada tahun 2024 dengan ancaman pidana maksimum lima tahun menurut KUHP lama. Namun pada tahun 2026, saat proses pengadilan berlangsung, KUHP baru telah menurunkan ancaman pidana maksimum menjadi tiga tahun untuk perbuatan yang sama. Dalam situasi demikian, hakim menghadapi dilema, apakah harus menerapkan KUHP lama demi kepastian hukum, atau menerapkan KUHP baru demi keadilan substantif bagi terdakwa?

Ketegangan antara kedua asas tersebut perlu di selesaikan dengan menempatkannya dalam kerangka hukum modern yang menekankan nilai keadilan substantif, bukan sekadar kepastian hukum formal. Paradigma hukum pidana Indonesia kini bergeser dari orientasi pembalasan (retributif) menuju pemulihan (restoratif) dan rehabilitatif. Artinya tujuan hukum pidana tidak lagi berhenti pada penghukuman, tetapi juga mencakup perbaikan, perlindungan HAM serta keseimbangan antara pelaku, korban, dan masyarakat.

Sejalan dengan itu lex temporis delicti memang menegakkan prinsip kepastian hukum dan legalitas formal. Namun Lex favor reo yang menekankan keadilan substantif dan kemanusiaan, lebih sesuai dengan arah reformasi hukum pidana Indonesia. Paradigma ini sejalan dengan pandangan Prof. Barda Nawawi Arief yang menegaskan bahwa hukum pidana modern harus menempatkan manusia sebagai pusat pertimbangan hukum pidana, bukan sekadar perbuatan pidana semata. Keadilan substantif adalah ruh utama dalam pembaruan hukum pidana nasional.

Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Prof. Muladi, yang mengatakan bahwa sistem hukum pidana Indonesia harus mengarah pada keseimbangan antara kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan, dengan keadilan sebagai nilai puncak. Maka ketika terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, keadilanlah yang lebih di utamakan.

Hal ini juga di tegaskan secara normatif dalam pasal 53 ayat (2) UU No1. Tahun 2023 tentang KUHP yang menekankan pada hakim untuk mengutamakan keadilan jika terdapat pertentangan dengan kepastian hukum. Ketentuan ini sekaligus menjadi landasan filosofis bahwa penerapan asas lex favor reo merupakan bentuk pengakuan terhadap perubahan paradigma hukum pidana Indonesia menuju sistem yang lebih manusiawi dan berkeadilan.

Ketentuan tersebut sejalan dengan sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, serta Pasal 28I UUD 1945 yang menegaskan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dengan demikian, penerapan asas lex favor reo bukan sekadar pengecualian teknis terhadap asas non-retroaktif, melainkan keharusan yuridis dan merupakan manifestasi dari paradigma hukum pidana yang berkeadilan substantif dan berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan bangsa Indonesia.

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)